Sunday, January 11, 2009

HALIM HD, "NETWORKER" KEBUDAYAAN

Sumber Kompas, Jakarta, 15 September 1999

MAKASSAR Arts Forum (MAF) '99 yang digelar di Ujungpandang,5-12 September 
1999 telah usai. Event kesenian besar dan terbilang sukses meski masih banyak 
kekurangan di sana-sini, tentulah tak lepas dari peranan pekerja seni, Halim 
HD. 

  Dengan totalitas luar biasa, Halim mengerjakan apa saja. Dari kurator 
sampai pembantu umum. Menempel poster, membagi-bagi undangan diskusi usai acara 
di panggung terbuka Benteng Fort Rotterdam, mencuci piring, sampai membersihkan 
kamar mandi di sekretariat panitia. 

  Di luar itu, ia juga sejak lama telah membangun relasi-relasi sosial-ia 
menyebutnya sebagai fasilitator/networker kebudayaan. Halim menjalin hubungan 
dengan ratusan orang di puluhan kota, di Indonesia maupun luar negeri. Semua 
bisa dihubungi lewat telepon, e-mail, faksimile, atau surat. 

  Hasilnya mulus? Tidak juga. Tetap ada konflik antara panitia dan lembaga 
kesenian. 

  "Sebetulnya, apa yang terjadi di sini sama dengan yang terjadi di Surabaya 
atau Semarang. Penyebab utamanya: ada sesuatu yang tampaknya seolah-olah dunia 
kesenian hanya bisa dipecahkan oleh lembaga itu," kata Halim. Dan Halim merasa 
sedih, karena sebagai partisipan, ia ternyata harus terlibat dalam konflik itu. 

  Institusionalisasi atau pelembagaan kegiatan-kegiatan kesenian di negeri 
ini dalam 20 tahun terakhir memang sangat kuat sekali. Mulai dari Dewan 
Kesenian Jakarta, lalu muncul dewan serupa di kota-kota lain, sehingga 
menimbulkan kesan dunia kesenian hanya bisa dikelola oleh lembaga. Berikutnya, 
selalu ada upaya saling jegal lewat lembaga-lembaga itu, yang kemudian menjadi 
konflik yang melebar ke wilayah-wilayah lain. 

  "Ini yang saya sedihkan. Kita harus kembali kepada fitrah kesenian itu 
sebagai kebersamaan," kata mantan "guru gadungan" yang mengajar Bahasa 
Indonesia di Department of Asian Language and Culture di University of Michigan 
(1989-1992). 
  *** 

  HALIM HD lahir 25 Juni 1952 dari keluarga pedagang-petani di Serang, 
Karesidenan Banten (Jawa Barat). Menamatkan SD dan SMP di Serang, dan 
melanjutkan SMA di Yogyakarta. Ia pernah mengenyam pendidikan di Fakultas 
Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1972-1977, tetapi tidak sampai 
selesai. 

  Ketika menjalani masa-masa kuliah itulah, ia ikut mengelola majalah 
mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Universum, di samping sebagai penanggung jawab 
dan koordinator "Forum Dialog" mahasiswa Fakultas Filsafat. Forum ini berusaha 
untuk mengembangkan diskusi dan dialog tentang filsafat, agama, kebudayaan, dan 
masalah-masalah aktual kemasyarakatan dengan perspektif filsafat. 

  Halim pun terlibat pada kegiatan sastra pada tahun 1972-1976, menulis puisi 
namun kemudian berhenti, dan lebih mengkonsentrasikan diri untuk membuat 
artikel/esai tentang kesenian, kebudayaan, pendidikan, dan kemasyarakatan. 
Tulisannya dimuat di berbagai terbitan kampus maupun koran lokal di Yogyakarta, 
Semarang, Bandung, Surabaya, Medan, Padang, Ujungpandang, Bali, di samping juga 
menulis untuk koran, majalah, serta jurnal di Jakarta. 

  Di antara pekerjaan itu, bersama seniman dan pekerja kesenian di Solo, ia 
mendirikan "Kelompok Kerja Kamandungan" yang menampung berbagai kegiatan seni. 
Awal 1980-an di Solo, Halim mengkoordinir pementasan dan kegiatan kesenian dari 
berbagai daerah yang datang ke Solo, misalnya kegiatan yang melahirkan "Sastra 
Kontekstual" yang dilontarkan Ariel Heryanto dan Arief Budiman. 

  Setiap tahun sejak tahun 1982, ia mengadakan kegiatan yang bersifat forum 
dengan skala yang jaringannya luas dan dalam berbagai disiplin, seperti 
pertemuan perupa dan kalangan pendidikan alternatif, serta kalangan NGO 
(non-government organization). Bersama kalangan NGO inilah ia ikut mengadakan 
workshop teater untuk pedesaan dan masyarakat di kampung-kampung di Solo, 
Jateng, Jatim, dan beberapa daerah lain. 

  *** 

  APA sebenarnya yang ingin digapai Halim dengan memilih sebagai networker 
kebudayaan? Menurut dia, sesungguhnya setiap orang adalah makhluk yang 
mengelola kebudayaannya bersama lingkungannya. Networker bagi Halim-yang pernah 
bekerja sebagai asisten riset Dr Takashi Siraishi dan Dr Ben Anderson pada 
Cornell Modern Indonesia Project (CMIP)-artinya bagaikan simpul jaring nelayan 
yang satu dengan lainnya saling terkait dan selalu tergetar, jika ada sesuatu 
benda yang jatuh di dalam jaring itu. Jaringan itu juga mengartikan bahwa 
simpul dari jaring itu sebagai suatu kesederajatan, sesuatu yang setara, yang 
satu dengan yang lainnya saling mengait dan terkait oleh suatu peristiwa. 
Konsep jaringan ini sebetulnya menuju masyarakat madani dalam perspektif 
kebudayaan. 

  "Kesenian dan kebudayaan jelas dan pasti tidak bisa terlepas dan melepaskan 
diri dari kondisi dan situasi politik, ekonomi, dan masalah-masalah lainnya, 
termasuk soal hankam yang memang sangat mendalam merasuki masalah kebudayaan 
kita melalui politik birokrasi kontrol terhadap masyarakat. Soal inilah yang 
membuat seluruh potensi kebudayaan kita, khususnya di pedesaan, mengalami 
kelumpuhan," ucapnya. 

  Lebih jauh, kesenian tradisi kita dijadikan bukan hanya komoditi dalam 
aspek ekonomis saja, tetapi juga secara politis untuk melanggengkan kekuasaan. 
Di lain pihak ironisnya, sebagai "komoditi" kesenian tradisi itu sendiri tidak 
terlalu menggembirakan. Bahkan, terjadi proses sebagai "sapi perahan" melalui 
birokrasi perizinan, dan di situlah amplop bermain, melalui keanggotaan yang 
dulu dikontrol oleh Golkar. 

  "Kita harus mengembalikan hak fitrah, hak asali setiap orang untuk 
bagaimana dirinya bisa bersama orang lain menyatakan diri. Di sinilah networker 
mempunyai peranan seperti orang lain. Tidak ada sesuatu yang istimewa atau hak 
khusus bagi dirinya," tutur Halim. 

  Keuntungan apa yang diraihnya sebagai networker? Ternyata Halim tidak 
bicara soal uang, karena tak ada keuntungan material yang diperoleh dari 
aktivitasnya ini. 

  "Kalau pilihan semacam itu, saya dulu tiga besar dalam tes manajemen di 
sebuah perusahaan. Tetapi ternyata saya tidak memilih itu. Saya lebih cocok di 
sini," kata Halim yang pernah mengikuti workshop teater di Filipina dan 
Thailand untuk bidang pengorganisasian (1980-1981). 
  Event demi event terus digulirkannya. Setelah melakukan evaluasi MAF '99, 
ia siap menggelar peristiwa kebudayaan lain ataupun membuka kemungkinan bagi 
kelanjutan MAF. Begitulah, seorang Halim HD tak akan lelah menjembatani kontak 
antarseniman. 

  (nasru alam aziz/elok dyah meswati)

join my network at www.dbc-networks.co.cc

No comments:

Post a Comment