Tuesday, January 13, 2009

Ketika Hasrat Meraih Sukses Lenyap

(from: femina online)

Ketika 6 tahun lalu Karina (35) menjadi karyawati baru di sebuah perusahaan, prestasinya sangat menonjol. Promosi demi promosi dengan cepat dilaluinya. Kini, tinggal selangkah ia akan menduduki posisi vice president. Namun, kinerjanya malah menurun. 

TAKUT GAGAL ATAU TAKUT SUKSES?
Kondisi seperti yang dialami Karina di atas, menurut Eileen Rachman, direktur Experd, sebuah biro konsultasi karier dan sumber daya manusia, dapat dikategorikan sebagai fear of success. Ketakutan akan kesuksesan berbeda dari ketakutan akan kegagalan (fear of failure). Fear of failure biasanya lebih gampang dideteksi dan dirasakan. Sebaliknya, fear of success (FS) dapat terjadi dalam jangka panjang, orang yang mengalami tidak langsung sadar sedang terkena FS. 

Sebuah contoh diungkapkan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, dekan Fakultas Psikologi UI. “Di kampus saya ada dua atau tiga doktor senior, semuanya wanita, yang sudah sejak beberapa tahun terakhir ini laik dipromosikan menjadi profesor, tuturnya. “Tapi, ibu-ibu itu menunda-nunda terus proses promosinya. Alasannya, tidak mau terlalu sering ke luar kota. Tapi, Sarlito menduga, alasan sesungguhnya mereka melepas peluang naik pangkat itu lebih karena persoalan suami. “Soalnya, suami mereka hanya karyawan biasa, katanya.

Nyatanya, banyak orang yang mengalaminya, bahkan juga pria, seperti yang diungkapkan pengarang buku 10 Secrets for Success and Inner Peace, Wayne W. Dyer. Di negara-negara berkembang, khususnya di dunia Timur, tulis Dyer, pria pun enggan terlalu maju atau menonjol. Di antara sekelompok orang, dalam perusahaan atau partai politik, hanya satu-dua orang yang boleh menonjol, yaitu yang dianggap paling senior atau paling berwibawa. 
Yang lainnya tidak boleh lebih . Gejala ini dinamakan motivational gravity (MG), yaitu daya tarik ke bawah bagi motivasi yang terlalu mencuat. Bedanya dengan FS, MG lebih disebabkan oleh faktor tekanan dari luar, sementara FS lebih merupakan dorongan dari dalam diri sendiri. 

Secara umum, FS lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria. Karena itulah, lanjut Sarlito, walaupun wanita sudah dididik dan disekolahkan setinggi mungkin dan selalu diberi tahu agar tidak terlalu bergantung pada pria, pada praktiknya tetap saja mereka diharapkan menikah, mempunyai suami dan anak-anak, dan balik lagi ke dapur.

MENCEGAH HASRAT BERPRESTASI
Gejala FS, kata Eileen, biasanya menimpa mereka yang sedang berada di comfort zone. Di ‘wilayah nyaman’ itu, seseorang enggan berpindah ke wilayah lain, bahkan juga ketika wilayah lain itu menjanjikan sesuatu yang lebih baik. “Sehingga, mereka sering mencari-cari pembenaran atas sikapnya, entah dengan mengomel, atau menyalah-nyalahkan orang lain dan perusahaan tempatnya bekerja, ketika ia dipromosikan. Padahal, alasan sebenarnya adalah tidak mau pindah dari tempatnya karena sudah kerasan di sana, kata Eileen. Lalu, adakah penyebab FS? Mungkinkah bisa dihindari? Sarlito mencoba mengkajinya lewat teori Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis. Bahasan mengenai FS pada wanita dihubungkannya dengan kisah Oedipus, seorang raja dalam mitologi Yunani kuno. Tanpa sadar, ia telah membunuh ayahnya, raja di Thebes, dan mempersunting sang permaisuri, yang sebenarnya ibunya sendiri. Istilah Oedipus ini dipinjam Freud untuk menunjukkan gejala yang secara naluriah ada pada setiap anak untuk secara seksual mencintai ibunya sendiri (pada anak laki-laki) atau ayahnya sendiri (pada anak perempuan). Oleh Freud, gejala ini kemudian dinamakan Oedipus Complex.

Pada anak perempuan, ada nama khusus untuk ini, yaitu Electra Complex. Entah mengapa dinamakan demikian, yang jelas intinya sama, yaitu dalam alam ketidaksadarannya, anak perempuan mendambakan bercinta dengan ayahnya sendiri. Karena takut kehilangan sosok ayah, maka ia berusaha untuk selalu menuruti kemauan ayahnya dan akan senang kalau perilakunya itu dipuji ayah. Ketika ia dewasa, hasratnya untuk mendapat kasih sayang ayah dialihkan kepada pria pada umumnya, khususnya pada suami atau kekasihnya. 

Karena itu, seorang pakar psikoanalisis zaman sekarang, David Krueger, dalam bukunya, Success and the Fear of Success in Women: A Development and Psychodynamic Perspectives, mengatakan bahwa anak perempuan selalu mendapat kasih sayang ayah jika ia berlaku submisif (merendah, menerima) dan tradisional. Tetapi, ia selalu mendapat reaksi negatif dari ayah, jika ia terlalu agresif, asertif (aktif menyatakan kehendaknya), dan berperilaku seperti pria yang mandiri. Ini akan mencegah hasrat-hasrat berprestasinya. Motivasi untuk sukses pada diri wanita seperti itu, akan disabotnya sendiri.

“Teori ini sejalan dengan temuan para peneliti bahwa pada wanita, kebutuhan akan afiliasi lebih kuat ketimbang kebutuhan akan prestasi, kata Sarlito. Hal ini juga yang membuat wanita enggan mencapai sesuatu yang lebih tinggi lagi dalam hidupnya, meskipun menjanjikan kesuksesan yang lebih besar. Karena umumnya orang tidak sadar bahwa ia terkena FS, Eileen menyarankan agar kita berhati-hati bila menerima tanda-tandanya. “Salah satu tanda yang paling menonjol adalah ketika tiba-tiba hasrat untuk meraih sesuatu itu menghilang, kata Eileen. 

DI RUMAH GANTI DASTER
Tidak gampang memang mendeteksi kehadiran FS yang terjadi dalam alam ketidaksadaran manusia. Sebab, boleh jadi hilangnya hasrat berprestasi juga dapat disebabkan oleh rasa malas. “Kalau seseorang tak mau dicalonkan untuk naik pangkat dengan alasan tidak mau bekerja lebih rajin, tidak mau mencurahkan waktu lebih banyak, masih ingin banyak waktu untuk bergaul, ini, sih, namanya malas saja. Bukan takut pada kesuksesan itu sendiri, ujar Eileen. 

Eileen menyarankan agar kita menyisihkan waktu untuk berkontemplasi, untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam diri kita. Selain itu, menurutnya, perlu ada redefinisi tentang sukses. “Sebaiknya sukses tidak didefinisikan sebagai sukses itu sendiri, tapi diiringi oleh kesadaran bahwa sukses itu baru awal dari kesuksesan lain.
Lebih jauh Sarlito menyebutkan bahwa dalam ilmu psikologi, psikoanalisis yang sangat memperhitungkan alam ketidaksadaran manusia, bukan satu-satunya teori. Teori-teori lain yang lebih berbasis kesadaran (kognisi) dan sosial (teori psikososial) menyatakan bahwa setiap orang mempunyai dorongan untuk maju. Dorongan maju itu tidak terhambat oleh FS yang bersumber pada Oedipus Complex, melainkan pada ada atau tidak adanya dukungan sosial terhadap diri seseorang. Akibatnya, seseorang akan jauh dari FS kalau ia percaya diri. 
“Kepercayaan diri timbul jika ia dipercaya oleh orang lain di sekitarnya, khususnya yang terdekat, seperti orang tua, kerabat, teman, guru, dan atasan, kata Sarlito, menerangkan. 

Hasil penelitian juga membuktikan bahwa wanita yang didukung oleh mitra prianya, termasuk ayah dan suami, akan lebih maju ketimbang wanita yang tidak mendapat dukungan seperti itu. “Wanita-wanita sukses, dari artis sampai dosen atau diplomat, mempunyai suami dan keluarga yang tidak saja mendukung, tetapi juga mendorong kariernya. Sering kali para suami itu sendiri adalah orang yang juga sukses dalam bidangnya, kata Sarlito.

Memang ideal, bila suami atau pria-pria di sekitar kita memahami karier kita. Tapi, bagaimana halnya jika mereka tidak mendukung? Sarlito menyebutkan dua pilihan, yaitu mengikuti kemauan si pria, atau memilih jalan sendiri. Kalau seorang wanita mengikuti kemauan orang lain, maka ia terpengaruh oleh MG dan FS. Bila ia memilih jalannya sendiri, ada kemungkinan ia harus berpisah, atau bercerai dari seorang pria, atau sejak awal memilih untuk tidak mengikatkan diri pada pria sama sekali. 

“Banyak wanita sukses seperti ini. Kita tidak perlu mencelanya, karena mereka sekadar menjalankan pilihan hidup. Kita semua setiap saat harus memilih, mengikuti kehendak orang lain, atau mengikuti kemauan sendiri. Antara tunduk pada ketakutan-ketakutan yang datang dari dalam diri sendiri, atau mencoba mengalahkan perasaan-perasaan itu, ujar Sarlito. 

Saran dari Eileen lebih condong pada mengikuti kemauan pria, namun dengan taktik tersendiri, yang disebutnya sebagai cara mempresentasikan sukses. “Kalau misalnya kita sukses, entah itu sebagai doktor, CEO atau pimpinan perusahaan, atau sebagai tokoh, ketika tiba di rumah, kita harus lekas-lekas berganti ‘pakaian’, katanya. “Jangan sampai CEO di kantor juga masih berlaku di rumah. Tanggalkan atribut kesuksesan, dan presentasikan sikap sebagai istri atau ibu. Itu juga yang saya lakukan selama ini. Di rumah, kita ganti daster saja. Bila makanan favorit suami kita ayam kodok, ya, ketika cuti atau akhir pekan kita buatkan ayam kodok itu, imbuh Eileen, yang juga pimpinan sebuah perusahaan mebel ini. Anda sendiri, mau pilih yang mana?

No comments:

Post a Comment