Monday, January 12, 2009

Maria Hartiningsih Raih Yap Thiam Hien 2003

(Bude seh yang hebat ....)

Jakarta, Kompas - Wartawan senior harian Kompas, Maria Hartiningsih, meraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2003. Maria dinilai sebagai jurnalis yang sangat konsisten dalam penulisannya memperjuangkan hak asasi manusia.

Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2003 yang diketuai Prof Soetandyo Wignjosoebroto dengan anggota Prof Dr Azyumardi Azra, Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo, dan Asmara Nababan SH dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (5/12), menyampaikan pertimbangan pokok mengapa penghargaan Yap Thiam Hien 2003 diserahkan kepada wartawan yang bernama lengkap Maria Margaretha Hartiningsih itu.

Menurut dewan juri, selama ini perhatian publik dalam setiap upaya menegakkan dan memajukan hak asasi manusia cenderung lebih tertuju kepada human rights defenders. Mereka adalah eksponen dan aktivis individu yang berada di garis depan perjuangan untuk membela dan menjaga hak sipil dan politik manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam suatu kehidupan yang penuh konflik dan kekerasan, khususnya justru kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah, jasa human rights defenders memang tidak boleh diabaikan.

Bertahun-tahun lamanya pada waktu yang lalu, sejak dimulainya pemberian penghargaan ini 11 tahun lalu, Yap Thiam Hien Award lebih banyak diberikan kepada mereka yang telah mencurahkan segala daya dan tenaganya sebagai defenders ini.

Penghargaan Yap Thiam Hien diberikan pertama kali tahun 1992 dan diterima Haji Muhidin, Johny Simanjuntak, dan HJC Princen. Penerima lainnya adalah Marsinah (1993), Trimoelja D Soerjadi (1994), petani Jenggawah dan Ade Rostina Sitompoel (1995), Romo Sandyawan Sumardi (1996), Kontras dan Farida Hariyani (1998), Sarah Lerry Mboeik dan Mama Yosefa Alomang (1999), Urban Poor Consortium (2000), Suraiya Kamaruzzaman dan Ester Jusuf Purba (2001), dan terakhir Wiji Thukul (2002). Tahun 1997 tidak ada pemberian penghargaan.

Menurut dewan juri, kalaupun demikian, perlulah mulai disadari bahwa aktivitas memperjuangkan hak asasi manusia itu tidak hanya berkisar pada masalah "perlindungan" dan "penegakan" hak asasi manusia, tetapi juga aktivitas upaya memajukannya. Hal itu dilakukan dalam bentuk upaya untuk membangkitkan kesadaran warga akan hak pribadinya sebagai manusia yang seutuhnya dan akan kewajibannya yang asasi pula terhadap sesamanya.

Inilah upaya yang terbilang sebagai upaya para human rights educator, yang umumnya tertampak sebagai kegiatan yang terlalu low profile dan karena itu kurang diperhatikan khalayak, tetapi dalam jangka panjang sesungguhnya akan lebih bermakna.

Dewan juri kali ini, papar Soetandyo, ingin menoleh dengan penuh perhatian ke apa yang telah dilakukan para human rights educator ini. Bagaimanapun, pada hakikatnya, human rights educator adalah juga human rights defenders. Setiap insan yang bekerja, meski dalam sepi dan jauh dari popularitas untuk memajukan lewat pembangkitan kesadaran manusia akan salah satu atau semua haknya yang diakui dalam Universal Declaration of Human Rights, sesungguhnya harus juga dikualifikasi sebagai human rights defenders.

Pembela hak asasi

Pembela hak asasi manusia tidak hanya orang yang berjuang secara langsung di lapangan untuk menegakkan hak asasi manusia. Seorang penulis atau pengajar pun, jika pada bidang yang mereka tekuni tersebut ikut serta untuk memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia, dapat pula dikategorikan sebagai pembela hak asasi manusia.

Ia bisa seorang dokter, seorang jurnalis, seorang intelektual, seorang pekerja sosial, atau profesi apa saja yang dari profesinya yang terbatas tetap mampu mengupayakan apa yang lebih.

Penghargaan Yap Thiam Hien selama ini belum terlalu sering memberikan penghargaan kepada mereka yang mengupayakan terbangunnya kesadaran akan hak asasi manusia seperti itu. Namun, kali ini, itulah yang diputuskan oleh dewan juri, memberikan penghargaan kepada seseorang yang bergerak sebagai human rights educator, Maria Hartiningsih.

Orangnya konsisten

Menurut dewan juri, Maria adalah wartawan yang mampu mendayagunakan peran dan pribadinya dalam tugas mendiseminasi ide kemanusiaan dan hak manusia yang asasi.

Maria adalah seorang jurnalis yang ikut pula mendorong peace journalism yang belum banyak diikuti oleh jurnalis lainnya. Ia terbilang konsisten dalam penulisannya, bukan hanya yang berkenaan dengan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan soal dunia dan jendernya sendiri, tetapi juga hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dunia manusia yang selalu menjadi korban kekerasan dan kerasnya hidup di dunia ini.

Maria terbilang sosok seorang profesional yang cukup konsisten dalam perjuangannya sebagai wartawan dan lewat tulisannya bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia. Tak hanya menulis soal kekerasan terhadap perempuan, Maria juga memiliki kepedulian terhadap perilaku remaja, HIV/ AIDS, perdagangan anak dan perempuan, kekerasan pemilu, hingga ihwal demokrasi dan civil society.

"Maria adalah seorang jurnalis yang tidak pernah lelah mengingatkan kita akan masih banyaknya kekerasan dalam kehidupan kita ini. Ia pun dapat mengajak kita untuk melihat isu yang berkaitan dengan kehidupan manusia korban. Di tengah kehidupan jurnalisme yang lebih banyak dan lebih suka menyebarluaskan tulisan mengenai kekerasan dengan bahasa yang sering jauh dari kalimat santun, jurnalisme yang dianut Maria secara konsisten ini sesungguhnya belum banyak," kata Soetandyo.

Pertama kali

Ketua Badan Pendiri Yap Thiam Hien Award Todung Mulya Lubis menyatakan, inilah untuk pertama kalinya wartawan mendapatkan Yap Thiam Hien Human Rights Award.

"Sebelumnya, yang mendapatkan penghargaan ini adalah aktivis yang berteriak lantang melakukan advokasi, tetapi inilah untuk pertama kalinya wartawan mendapatkan award ini. Wartawan yang committed, wartawan yang berpihak kepada korban kekerasan," kata Lubis.

Menurut Lubis, ini menunjukkan bahwa dimensi perjuangan hak asasi manusia itu begitu luas dan perdebatan dalam tubuh dewan juri begitu intens dan tajam karena memang gagasan hak asasi manusia ini merupakan satu gagasan dinamik yang berkembang. "Saya kira kita telah memulai satu langkah dengan memilih Maria Hartiningsih sebagai peraih Yap Thiam Hien Award," kata Lubis.

Ia menambahkan, dewan juri waktu itu mempersoalkan, apakah bukan pekerjaan jurnalistik yang dilakukan oleh Maria Hartiningsih memang pekerjaan yang seharusnya dilakukan?

"Tapi kalau Anda membaca keseluruhan tulisan yang dibuat Maria Hartiningsih, tidak bisa disangkal bahwa ada keberpihakan yang sangat kuat dari Maria terhadap peace journalism, terhadap perdamaian, terhadap hak-hak perempuan," katanya.

"Saya kira wacana hak perempuan yang dibangun oleh Maria dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, begitu mencerahkan kita, yang membuka banyak sekali horizon baru dalam diskursus mengenai hak perempuan dan hak akan perdamaian," demikian Lubis. (LOK)

No comments:

Post a Comment