Friday, January 9, 2009

Perempuan, Apa yang Kau Cari?

Refleksi di Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret

Neni Utami Adiningsih 

BOCAH mungil bergaun dan bersepatu merah muda itu tampak cantik. Di kepalanya bertengger mahkota dari karton berhias. Naya, nama bocah itu, merayakan ulang tahun pertamanya bersama teman-temannya sore itu. Namun, ia tidak merayakannya di rumah atau di restoran cepat saji seperti biasa dilakukan anak-anak dari keluarga kelas menengah. Ia merayakan ulang tahunnya di tempat penitipan anak (TPA) Sasana Bina Balita (SSB) Mitra.

Demikian alinea awal dari ulasan di Pembaruan (2/3) tentang tren menitipkan buah hati di TPA. Sebuah ulasan yang sungguh menarik untuk dikritisi. 

Tiga, dua, bahkan satu dekade lalu, kondisi seperti ini tentulah peristiwa langka. Ketika itu, apalagi untuk anak yang masih seusia itu (satu tahun), rumahlah yang menjadi tempat dominan merayakan acara ulang tahun. Ada ibu yang sibuk menyiapkan kue tart serta aneka makanan ringan. Ada ayah yang sibuk memasang pita dan balon menyesaki ruang tamu. Ada anak-anak tetangga yang riuh berceloteh. Seakan tidak mau kalah ramai dengan celotehan ibu-ibu yang mengantar mereka. 

Kini, kondisi seperti itu mulai tergeser. Seiring dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja di ruang publik, menjadi ibu publik, semakin banyak pula bermunculan ragam layanan jasa guna menggantikan fungsi keibuan. Salah satunya berupa TPA yang berfungsi menggantikan suasana rumah, lengkap dengan keberadaan sosok ibu sebagai pengasuh, perawat serta pendidik anak.

Kue tart, balon, pita, memang semuanya masih tetap ada, masih memeriahkan suasana ulang tahun, tapi sudah tidak lagi mendapat "sentuhan" tangan ayah-ibu. Orangtua tinggal menyediakan sejumlah uang, dan semuanya beres. 

Bahkan kalau kesibukan kerja begitu menumpuk, orangtua pun tidak perlu hadir di acara tersebut. Toh sudah ada "ibu-ibu (karena ada banyak) pengganti" yang siap untuk memberikan kecupan sayang serta mengucapkan "selamat ulang tahun sayangku..."

Female Modesty 

Bicara tentang keberadaan TPA, sesungguhnya hal ini sudah diramalkan akan terjadi oleh Socrates, seorang filsuf Yunani, dalam karyanya Plato's Republic, ketika ia mengulas gagasan tentang female modesty, yaitu karakter yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, seperti kelembutan serta sifat keibuan. 

Menurut Socrates, bila perempuan ingin "menyamakan" diri dengan laki-laki (seperti yang kini sedang gencar digaungkan), terutama di kancah publik, perempuan harus menghilangkan female modesty yang ada pada dirinya. Perempuan, sebagai seorang ibu, tidak perlu lagi intens melakukan relasi dengan anaknya. Ibu juga tidak perlu lagi menghiraukan "rasa bersalah" yang ada dalam dirinya ketika ia "meninggalkan" anak-anaknya. 

Perlahan namun pasti, ramalan, juga saran, Plato tersebut mulai terjadi. Terbukti saat ini "hilangkan rasa bersalah" menjadi slogan yang selalu ditularkan di antara para "ibu publik", serta disarankan kepada para perempuan yang ingin menjadi ibu publik

"Kan saya bekerja juga untuk anak, untuk memenuhi kebutuhannya, agar ia mendapatkan yang terbaik," demikian kalimat pembenaran yang selalu digaungkan setiap saat. 

Pertanyaannya, jujurkah alasan tersebut? 

Jangan-jangan keinginan tersebut sebagai selubung semata, sementara alasan sesungguhnya justru dilatarbelakangi oleh keegoisan pribadi perempuan yang ingin tampak bermanfaat bagi orang banyak, yang ingin tampak mengamalkan ilmu, yang ingin tampak tidak ketinggalan zaman, yang ingin tampak mandiri dan masih banyak keinginan lain. 

Arlie Russel Hochschild, dalam bukunya The Time Bind: When Work Becomes Home and Home Becomes Work (1997), bercerita tentang orangtua yang "melarikan diri dari tekanan di rumah dengan bekerja". 

Menurutnya, para ibu publik tersebut merasa lebih nyaman, lebih terhormat, dan lebih merasa puas bila berada di kantor daripada terbelenggu di rumah mengurus anak-anaknya. 

Jangan-jangan keinginan untuk bekerja itu juga didasari oleh kesoktahuan perempuan masa kini akan nasibnya di masa mendatang, yang sepertinya akan terjadi perceraian, bahkan seakan-akan suaminya akan meninggal lebih dulu darinya, yang artinya ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi tersebut.

Jangan-jangan keinginan untuk bekerja itu sebagai langkah antisipasi agar terhindar dari kekerasan (domestik). Apalagi saat ini semua pihak, mulai dari LSM "properempuan", perguruan tinggi, juga lembaga-lembaga pemerintah termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan, gencar menyosialisasikan kemandirian ekonomi sebagai upaya untuk menghindarkan perempuan dari tindak kekerasan (domestik). 

Padahal asumsi ini masih perlu dikaji lebih mendalam kebenarannya. Terlebih sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr Hj Fathul Djannah SH MS (dkk) dengan responden para guru dan dosen (yang notabene mandiri secara ekonomi) di Medan (Sumatera Utara), ternyata menyimpulkan bahwa kemandirian ekonomi istri dengan bekerja tidak mencegah mereka dari kekerasan (domestik) yang dilakukan suami. 

Bahkan penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa bentuk kekerasan berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan bekerjanya mereka di ruang publik. 

Belum lagi adanya jargon "yang penting kualitas bukan kuantitas", yang menjadi senjata andalan para ibu publik, semakin membuat mereka merasa tenang meninggalkan anak-anaknya. Mereka menyediakan waktu Sabtu dan Minggu atau hari libur bagi anak-anaknya

Bila ditelaah, hal ini adalah bentuk lain keegoisan ibu publik. Setelah di hari kerja (week days) dengan sepihak (tanpa kompromi dengan anak) memutuskan untuk meninggalkan anak-anaknya dengan orang lain, di hari libur (week end), dengan alasan untuk menjaga kualitas hubungan dengan anak, sekali lagi, secara sepihak mereka memutuskan bahwa anak-anak harus mau bersama dengannya. 

Bagaimana bila pada "hari libur ibu" tersebut anak-anaknya justru sedang ingin bersama temannya atau justru ingin sendirian saja, tidak ingin bersama siapa pun, termasuk dengan ibunya? 

Bahkan saat ini negosiasi pengasuhan anak bak negosiasi dagang, mana yang lebih memerlukan biaya dan pengorbanan (waktu serta psikis) lebih sedikit namun memberikan keuntungan lebih besar, itulah yang dipilih. 

Menitipkan anak di TPA sekelas SBB Mitra misalnya, yang terletak di daerah perkantoran elite Ibukota, "hanya" Rp 500.000 per bulan. Tentu saja biaya ini, lima, 10, bahkan 20 kali lebih rendah dari pendapatan para ibu publik yang bekerja di kantor seputar Jalan Gatot Subroto - Jalan Jenderal Sudirman. Dari sudut negosiasi dagang, tentu saja hal ini sangat menguntungkan. Apalagi para ibu publik tinggal terima beres. 

Pagi hari, sekitar jam 07.00, para ibu publik tinggal mengantarkan anak-anaknya ke TPA. Mereka tidak perlu sibuk menyediakan, apalagi menyuapi, sarapan untuk si kecil, tidak perlu menghabiskan waktu untuk menemaninya bermain, mengajarinya berjalan, berbicara, bersopan santun, tidak juga perlu menghabiskan waktu untuk mendongeng sebelum si kecil tidur siang

Mereka tidak perlu bergelut dengan popok bau. Juga tidak perlu jengkel melihat rumah yang kotor dan berantakan akibat ulah si mungil. Kenapa bisa demikian? Karena semua itu akan dilakukan oleh para "ibu pengganti". Sore hari, mereka tinggal menjemput si mungil yang sudah dalam keadaan bersih dan kenyang. 

Belum lagi mereka justru merasa bahwa TPA telah membuat anaknya menjadi lebih baik. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nurbaity (37) yang menjadi karyawan sebuah bank. 

Menurutnya, anak pertamanya, Noval (2,5 tahun), yang sudah dititipkan di TPA sejak usia satu tahun, tumbuh menjadi anak yang berani dan kritis, tidak takut menghadapi orang baru, rajin bertanya tentang segala hal, dan menjadi orang yang teratur. 

Tidak pelak, ia pun ingin anak keduanya mengalami hal yang sama sehingga ia pun menitipkan anak keduanya yang masih berusia 3 bulan ke TPA (Pembaruan, 2/3). 

Di masa mendatang, besar kemungkinan rasa tenang para ibu publik ini untuk meninggalkan anak-anaknya di TPA akan semakin bertambah. 

Sebab kemajuan teknologi informasi akan memungkinkan TPA-TPA elite memasang kamera yang dapat diakses melalui internet dari ruang kantor mereka

Apa yang Dicari? 

Tapi anehnya, setelah semua yang dilakukan perempuan modern (dan berpendidikan) terhadap anak-anaknya, ternyata mereka tetap saja ingin mendapat anggapan sebagai ibu yang memedulikan anak-anaknya. Mereka tidak ingin melepaskan female modesty yang ada dalam dirinya. 

Buktinya mereka selalu berucap, "Walaupun bekerja, saya tetap menomorsatukan keluarga." 

Para ibu publik tersebut tetap saja akan tersinggung, bahkan marah, bila ada yang menganggapnya tidak mengasuh dan merawat anak-anaknya. Mereka juga tidak mau bila dianggap lebih mementingkan karier daripada anak-anaknya. 

Dengan minimnya waktu (kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan, bukankah tenaga dan pikirannya sudah terkuras di ruang publik?) mereka terhadap proses pengasuhan anak-anaknya, mereka tidak berani mengakui bahwa orang lainlah yang membuat sehat, membuat pintar, bahkan membuat bermoral anak-anaknya. 

Dengan kondisi ambigu yang seperti ini, tidaklah berlebihan bila kemudian muncul pertanyaan, "Perempuan, sebenarnya apa yang engkau cari...?" 

Mudah-mudahan momen Hari Perempuan Intenasional (8 Maret) ini menjadi saat tepat bagi para perempuan untuk mengungkapkan jawabannya... secara jujur

 join our network : http://www.dbc-networks.co.cc 

No comments:

Post a Comment