Monday, January 12, 2009

Kesetaraan, Tanpa Hilangkan Persoalan Perempuan

Oleh: Maria Hartiningsih (bude-ku tersayang) dan Ninuk Mardiana

Konflik bersenjata, kemiskinan, kelaparan, HIV/AIDS, perdagangan manusia, fundamentalisme, bencana alam, dan lain-lain, adalah gambaran muram situasi perempuan.

Ini diperburuk oleh globalisasi kapitalisme dan program penyesuaian struktural (SAP) sehingga keadaan perempuan saat ini tidak lebih baik dibandingkan 30 tahun lalu. ”Karena itu penting dipikirkan kembali untuk membuat kajian berperspektif feminis guna mengatasi situasi perempuan yang kian memburuk,” tegas Dr Marylin Porter. Menurut ilmuwan feminis dari Memorial University of Newfoundland itu, pendekatan jender cenderung ”menghilangkan” masalah yang dihadapi perempuan, meskipun soal kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tetap penting.

Ia mengungkapkan semua itu ketika menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi ”Membangun Teori” dalam rangkaian kegiatan 15 tahun Kajian Wanita Program (PKW) Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, Kamis (8/12).

Porter bersama Sinta Nuriyah Wahid, Ketua Dewan Kebijakan dan pendiri Puan Amal Hayati, Women’s Crisis Center berbasis pesantren, Meiwita Budiharsana, Direktur Ford Foundation untuk Indonesia, dan antropolog hukum Sulistyowati Irianto, dipandu Saparinah Sadli, memberikan pencerahan kepada para alumni Kajian Wanita Program Pascasarjana UI untuk penguatan kapasitas.

Pada hari kedua Ratna Batara Munti dari LBH APIK, Irwati Harsono dari Derap Warapsari, dan Ketua Lembaga Penelitian Unika Atma Jaya Irwanto berbagi pengalaman mengenai strategi mengarusutamakan jender dengan dipandu Ketua PKW UI Kristi Poerwandari.

Pengungkapan Porter mengingatkan, dalam banyak hal, tanda (dalam hal ini bahasa) mengandung makna tersembunyi atau tidak terlihat sehingga harus sangat berhati-hati menggunakannya. Apalagi kalau hal itu memengaruhi metode pemecahan masalah.

Porter menyebut tiga area dalam tren pemikiran feminis. Yaitu hak-hak perempuan sebagai hak-hak manusia serta agenda kesetaraan dalam pembangunan; fokus pada tubuh, seksualitas dan personal; serta postmodernisme.

Keterkaitan postmodernisme dan feminisme sangat jelas. ”Postmodernisme bermanfaat bagi feminisme karena ia menggugat dan mendekonstruksi kategori-kategori besar yang selama ini kita terima,” ujarnya.

Terlepas dari penggunaan istilah dalam postmodernisme yang sulit dimengerti, bahkan oleh mereka yang berbahasa Inggris (dan Perancis), riset postmodernisme mencakup banyak hal ”kecil” yang diabaikan. Ini akan cocok untuk mengungkap pengalaman perempuan yang diabaikan, untuk memahami masyarakat agar lebih setara, aman, dan adil.

Pengembangan teori dalam kajian feminis, menurut Porter, merupakan upaya kolektif atau kolaboratif pada satu sisi dan titik temu dari pengalaman dan analisis mengenai personal dan politik pada sisi lain.

Dalam membangun kapasitas PKW, Irwanto mengatakan, bila ingin membangun institusi yang menghasilkan gerakan, maka ruang kelas tidak boleh steril, tetapi harus empatik, membawa teori yang rasional dan empiris ke ruang yang personal, yaitu pengalaman perempuan. Untuk itu kelas harus berani terbuka pada hal-hal yang dianggap tabu dan terlarang bila itu memang kenyataan hidup perempuan, terbuka untuk lahirnya perbedaan, metodologi riset dikembangkan untuk mencari jawaban atas hal yang sebelumnya dianggap tidak mungkin, dan terbuka terhadap disiplin ilmu apa pun.

Membangun jaringan

Sementara itu, sependapat dengan Porter, Meiwita Budiharsana menegaskan pentingnya kerja sama dan kolaborasi di antara sesama perempuan agar keterbatasan sumber daya bisa diatasi.

Meiwita masih menengarai adanya jurang yang memisahkan akademisi dengan aktivis organisasi nonpemerintah yang bekerja di lapangan. Jurang itu harus dijembatani dengan kerendah- hatian dan keinginan berbagi pada kedua pihak.

Mengenai upaya melakukan perubahan kebijakan, Meiwita mengingatkan agar kebijakan yang ada dimengerti benar sehingga dapat berbicara berdasarkan data yang konkret.

Menegaskan pandangan Meiwita, dalam sesi diskusi kelompok mengenai internalisasi dan pengembangan budaya baru, Ema Rachmawati mengatakan, yang terpenting dari upaya perubahan kebijakan adalah menguasai sistem pemerintahan yang ada dari berbagai peraturan perundang-undangan.

”Yang juga penting adalah menguasai peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah sehingga kita dapat melihat celah di mana kita bisa melakukan advokasi kebijakan,” ujarnya.

Sebagai pegawai negeri yang bekerja di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Ema Rachmawati, yang menyelesaikan studi S-2-nya di Program Pascasarjana Kajian Wanita UI tahun 2001, sangat memahami pendapat Meiwita. ”Tanpa bekerja sama dan berkoordinasi dengan teman-teman ornop, teman-teman di dalam birokrasi, di perguruan tinggi, dan di berbagai organisasi dan lembaga, kita habis,” tegasnya.

Pengalaman membuat jaringan itu dipaparkan Ratna Batara Munti dalam advokasi Undang- undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Inti dari jaringan adalah organisasi nonpemerintah dan ormas perempuan dengan mengajak kelompok akademisi, penyintas, tokoh agama dan masyarakat, kelompok artis peduli, dan media massa. Hasilnya, undang-undang mengakomodasi adanya pendampingan untuk korban yang sebelumnya tidak diakui, mengakui KDRT sebagai kejahatan, dan memberlakukan KDRT sebagai delik aduan.

Jaringan membagi tugas untuk menyusun naskah akademis, mencari simpul-simpul di lembaga kunci yang dapat dijadikan mitra, dan melakukan sosialisasi ke masyarakat. Kini, pengalaman jaringan tersebut diterapkan juga dalam Jaringan Program Legislasi Nasional Pro-Perempuan.

”Meski masih minim, kami mengharap keterlibatan Kajian Wanita (UI) dalam advokasi kebijakan, misalnya mengkaji kritis produk kebijakan RUU, peraturan daerah, rancangan perda dan membuat naskah akademis dan legal drafting, terlibat sebagai tim lobi, tim asistensi, sosialisasi, dan mendorong keterlibatan akademisi lain,” kata Ratna.

Pengalaman di kepolisian yang diungkapkan Irawati Harsono menunjukkan, berjaringan dengan organisasi perempuan ”formal”, seperti perkumpulan istri polisi, juga perlu dilakukan terutama untuk menembus benteng birokrasi di kepolisian. Pada dasarnya, menurut Irawati yang pensiunan polwan dan kini Komisioner Komnas Perempuan, kepolisian terbuka dan mau dibantu, hanya cara pendekatannya harus pas. Instansi ini sifatnya patrimonial, feodal, sentralistik, juga bercuriga, konservatif.

Derap Warapsari, organisasi yang didirikan pensiunan polwan, menanggapi keluhan masyarakat mengenai pelayanan polisi terhadap perempuan korban kekerasan, mengusulkan kepada Mabes Polri untuk menyediakan Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Dalam perjalanannya, RPK yang semula tidak berada dalam struktur Polri dalam waktu dekat, menurut Irawati, akan diformalkan di bawah unit penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Membongkar

Perjuangan untuk mengarusutamakan perspektif kesetaraan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki (jender) di dalam birokrasi dengan upaya mengubah kebijakan bukan hal yang mudah. Apalagi kalau hal itu menyangkut nilai-nilai tertentu agama yang diyakini sebagai kebenaran tunggal.

”Saya menerima banyak ancaman dan teror, serta kemandekan karier. Tetapi, saya tidak mundur,” ungkap Anik Farisa, peneliti dan anggota Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama. Analisis terhadap berbagai kebijakan dalam hukum Islam membuat Anik dan kawan-kawannya membuat Counter Legal Draft terhadap Kompilasi Hukum Islam.

”Sebenarnya banyak kitab lama yang mendukung kesetaraan,” kata Anik. ”Tapi itu tak pernah dimunculkan.” Dengan demikian, interpretasi agama dapat dijadikan alat politik untuk melakukan dominasi terhadap kelompok tertentu.

Karena itu, seperti dikemukakan Sinta Nuriyah Wahid, tafsir ulang atas fikih keagamaan sangat penting dan membuat agama relevan dengan perkembangan dan konteks zaman.

Nuriyah melihat perlunya penafsiran ayat-ayat yang bisa memberikan jawaban konkret terhadap masalah sosial, seperti kemiskinan dan lain-lain. Bukan jawaban normatif seperti nasihat harus sabar dan tawakal serta berbagai janji surga yang tak menyentuh soal kekinian.

Ia menekankan prinsip kemaslahatan dalam Islam sehingga pemaknaan ulang atas seluruh ayat Quran dapat dilakukan tanpa mendikotomikan antara perempuan dan laki-laki, Arab-nonArab, muslim-nonmuslim, atau perbedaan lain yang menyangkut SARA.

Toh tidak mudah juga. Ketika melakukan tafsir ulang terhadap Kitab Kuning, Nuriyah mengaku banyak ditentang, bahkan dari kelompok santri muda.

Menyasar pada perubahan kebijakan merupakan hal strategis untuk memperbaiki situasi perempuan. Seperti dikemukakan Sulistyowati Irianto, selama ini hukum telah dijadikan alat untuk mendefinisikan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu sehingga membatasi ruang gerak perempuan, tidak responsif terhadap persoalan-persoalan perempuan, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan perempuan. Isu perempuan, menurut Sulistyowati, sangat rentan untuk dimasuki dan dijadikan isu politik karena simbolisasi politik dilekatkan pada seksualitas tubuh dan keberadaan perempuan. Ia mengingatkan pentingnya pembaruan hukum, tetapi harus diwaspadai bila hukum yang dirancang sarat dengan kepentingan untuk menguasai

No comments:

Post a Comment